Edisi II: Yang Banyak Disalahpahami dari Nikah Mut’ah

Sebuah Upaya Meluruskan Pemahaman tentang Nikah Mut’ah

Kasus tindak asusila yang dilakukan oknum guru agama (HW) terhadap belasan santriwati di salah satu pesantren di Bandung, Jawa Barat beberapa waktu lalu, telah menyisakan luka dan keprihatinan mendalam di hati banyak orang, khususnya kaum muslimin.

Namun yang juga patut disayangkan, dalam situasi seperti itu, masih ada orang-orang yang coba memperkeruh keadaan, mengkambinghitamkan madzhab Ahlul Bait dengan mengafiliasikan si pelaku sebagai pengikut ajaran syiah.

Dalih yang digunakan orang-orang tersebut sederhana, yakni Syiah mengajarkan doktrin nikah mut’ah, yang pada gilirannya bisa dijadikan sebagai alat legal atau dasar hukum syar’i untuk memuaskan nafsu birahi para pemeluknya.

Ironisnya, tidak sedikit pula kaum muslimin yang terjebak pada provokasi dan stigmatisasi tersebut, tanpa mencari tahu kebenaran sesungguhnya.


Sampai disini, mari kita simak tentang bahasan nikah mut’ah. Sebuah topik dan hukum di dalam Islam yang kerap kali disalahpahami oleh kaum muslimin, terutama di Indonesia.

Dalam pandangan Ahlul Bait sebetulnya nikah mut’ah (Kontrak) dan nikah daim (permanen) tidak memiliki perbedaan, kecuali dari sisi penetapan jangka waktunya dan beberapa hukum parsial. Di dalam nikah mut’ah memang disebutkan bahwa masa pernikahan itu akan berakhir pada saat tertentu.

Adapun dari sisi berbagai persyaratan yang diperlukan atas sahnya nikah mut’ah dan daim, semua sama. Dalam nikah mut’ah disyaratkan adanya ijab qabul, maskawin, izin wali apabila menikahi perempuan yang belum pernah menikah (gadis), serta diharuskan tidak ada penghalang atas kebolehan menikah, seperti mahram, artinya, ia bukan ibu kita, saudara kita, anak kita, dan sebagainya (ada hubungan darah).

Kemudian tidak boleh juga ada ikatan dari sisi perkawinan, misal dia adalah ipar, menantu, mertua kita dan sebagainya.

Di samping itu, wanita yang masih berstatus istri orang juga tidak diperbolehkan melakukan nikah mut’ah, bahkan seorang perempuan yang sedang menjalani masa iddah, tidak bisa melakukan nikah mutah sebelum masa iddah itu selesai.


Lalu bagaimana status anak yang lahir dari hasil nikah mut’ah?

Dari konteks ini, baik nikah mutah dan daim pun tidak ada perbedaan. Seorang anak yang lahir dari nikah mut’ah tetep berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya, begitupun sebaliknya seorang ayah berkewajiban menafkahi anaknya itu.

Ketentuan ini juga berlaku dalam konteks pembagian waris, dari ayah/ibu ke anak atau dari anak ke ayah/ibu, tidak ada perbedaan sedikitpun antara anak yang lahir dari nikah mut’ah dan nikah daim.

Betul, hubungan suami-istri ketika masa pernikahan yang disepakatinya sudah habis, maka tidak ada hubungan lagi antara keduanya.

Tapi bagi si anak, baik bersama si Ibu maupun bersama Ayah, maka dia berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya hingga dia bisa mandiri. Dengan kata lain, berakhirnya masa nikah mut’ah persis dengan perceraian pada nikah daim.

Dengan demikian tidak ada kekhawatiran seorang anak akan terlantar ketika lahira dari hasil nikah mut’ah.

Bahwa ada oknum yang melakukan nikah mut’ah dan menelantarkan anaknya, itu bukanlah ukuran bagi kita untuk menilai hukum nikah mut’ah, atau menghapus hukum tersebut. Karena tidak sedikit kita jumpai orang yang menelantarkan anak mereka, yang mereka hasilkan dari nikah permanen.