Edisi III: Nikah Mut’ah Sebagai Jalan Alternatif dan Solutif
Sebuah Upaya Meluruskan Pemahaman Tentang Nikah Mut’ah
Pernikahan tidak selamanya identik dengan hubungan seksual antara suami dan istri. Pernikahan juga tidak selalu bertujuan untuk membina sebuah rumah tangga.
Dalam Madzhab Ahlusunnah misalnya, dikenal sebuah istilah nikah mahramiyah, sebuah pernikahan yang dilakukan dengan tujuan untuk sebatas menimbulkan efek kemahraman antara seorang laki-laki dan perempuan.
Nikah mahramiyah ini biasanya menjadi pilihan alternatif untuk memudahkan seorang perempuan yang hendak beribadah haji maupun umrah ke Tanah Suci tanpa mahram.
Karena seperti yang diketahui bersama, dalam fikih Imam Syafi’i seorang perempuan tidak bisa berhaji tanpa mahram. Hal senada juga ditegaskan oleh Kedutaan Arab Saudi yang telah membuat aturan bagi perempuan berusia di bawah 40 tahun, wajib berangkat bersama mahramnya ketika ingin melaksanakan ibadah haji dan umrah.
Oleh karena itu, kerap kali seorang Kyai atau Pembimbing haji dan umrah menawarkan nikah mahramiyah ini. Apabila pelaksanaan ibadah haji maupun umrah tersebut telah selesai, maka saat itu pula akan dilakukan proses perceraian.
Dalam Madzhab Ahlulbait atau Syiah, persoalan semacam ini bisa diselesaikan dengan cara melakukan nikah mut’ah, dengan memberikan penekanan terhadap jangka waktu pernikahan, serta kesepakatan lain yang mengikat di dalam pernikahan tersebut.
Nikah mut’ah pun bisa dijadikan sebagai alternatif untuk melegalkan hubungan antara laki-laki dan perempuan sebelum keduanya memutuskan untuk melangsungkan pernikahan daim (permanen).
Karena umumnya, sebelum menikah daim, calon pasangan perlu mengenal lebih dekat satu sama lain dengan cara berdialog tatap muka, atau berpergian bersama untuk mempersiapkan acara pernikahan, dan sebagainya. Yang ke semua itu tidak bisa dilakukan (haram) apabila belum menjadi muhrim.
Nikah mut’ah juga sekaligus bisa menjadi solusi untuk mengatasi ‘budaya’ pacaran yang hampir dianggap lumrah di sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Seperti kita ketahui bersama, Islam tidak mengenal istilah pacaran. Bahkan dalam Islam, pacaran dihukumi haram, karena kerap kali praktek tersebut mengaburkan batasan antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim, dan pada gilirannya sering mengarah pada perzinahan.
Mungkin akan muncul pertanyaan, mengapa harus dengan nikah mut’ah, mengapa tidak dilakukan nikah daim saja, baik dalam kasus mahramiyah umrah/haji, maupun ‘pacaran’? Jawabannya adalah karena dalam nikah daim diperlukan thalaq dari pihak suami, dan bila pihak suami tidak sudi untuk menthalaqnya, maka sang istri tidak bisa melakukan apa-apa, kecuali harus ke pengadilan dan diputuskan oleh hakim untuk thalaq.
Hal ini lebih rumit dan sangat spekulatif, sebab boleh jadi pengadilan tidak menerima gugatan cerai atau sama sekali tidak bisa dilaksanakan sidang cerai karena pernikahannya itu tidak tercatat di dalam dokumen negara.
Hukum nikah mut’ah yang halal/mubah ini boleh jadi tidak bisa dilaksanakan karena faktor-faktor eksternal misalnya masyarakat umum menganggapnya tabu dan bertentangan dengan kepatutan, wisdom, khususnya pada seseorang yang punya kedudukan terhormat di tengah masyarakat, sehingga pelakunya dianggap mencoreng nama baik dirinya dan sekaligus mencoreng nama baik keluarga, institusi, korps, madzhab bahkan Islam. Kasus serupa identik dengan poligami, yang boleh jadi banyak ulama tidak melakukannya dikarenakan faktor tersebut.
Sampai disini kita telah mengetahui bagaimana relevansi keberadaan hukum nikah mut’ah dalam konteks kekinian.
Sekali lagi perlu ditegaskan, bahwa kita tidak bisa mengharamkan suatu tindakan halal, hanya karena disalahgunakan oleh sebagian orang, sebagaimana kita juga tidak bisa menghalalkan suatu tindakan haram yang dilakukan seseorang dengan tujuan baik, seperti mencuri dengan maksud untuk berbagi pada sesama.
Sekedar untuk menambah pengetahuan, sebagian ulama menyebutkan bahwa filosofi dihalalkannya nikah mut’ah pada zaman Rasulallah Saw adalah dalam rangka memfasilitasi para pejuang yang akan melakukan perjalanan menuju medan pertempuran.
Saat seseorang harus meninggalkan keluarganya dalam waktu yang lama, dimana tidak dimungkinkan melakukan nikah permanen, tetapi ada kebutuhan untuk melakukan pernikahan, maka nikah mut’ah pun diperbolehkan.