Fatwa Media Sosial (2)

Dalam pesan yang disampaikannya kepada Malik al-Asytar, Imam Ali mengatakan:

ولا تعجلن الی تصدیق ساع فان الساعی غاش و ان تشبه بالناصحین

Janganlah engkau terburu-buru untuk membenarkan berita pemfitnah/pengadu domba sebab pengadu domba adalah pengkhianat dan penipu, meskipun ia berpenampilan sebagai pemberi nasihat (Nahj al-Balaghah, Faidh al-Islam, hal. 998, nomer 53).

Begitu juga di bidang penyebaran berita dan penggunaan jejaring sosial, kita harus hindari penyebaran rumor dan isu. Sebab, Al-Qur’an memerangi dan menentang keras hal-hal seperti itu, khususnya bila isu yang disebar rentan menimbulkan perpecahan, mengancam keamanan dan kenyamanan sosial dan psikologis masyarakat (Qs. al Ahzab: 60, 62, an Nisa 83)

Allah berfirman:

(Ingatlah) ketika kamu menerima berita bohong itu dari mulut ke mulut dan kamu katakan dengan mulutmu apa yang tidak kamu ketahui sedikit pun, dan kamu menganggapnya remeh, padahal dalam pandangan Allah itu soal besar.

Dan mengapa kamu tidak berkata, ketika mendengarnya, “Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau,  ini adalah kebohongan yang besar.”  Allah menasehati kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya, jika kamu orang beriman.

Dalam surat an-Nur ayat 15-17 tersebut, Allah melarang dan mengingatkan secara keras supaya kita menghindari penyebaran kebohongan dan berita hoax dan menilainya sebagai dosa besar. namun Al-Quran membolehkan bahkan menegaskan perihalkebolehan dan bahkan keharusan menentang orang zalim dan membongkar aib/kedoknya. Sebab dalam surat an-Nisa’ ayat 84, Allah menegaskan bahwa perkataan buruk dan cemoohan kepada orang lain adalah tindakan yang tidak terpuji namun diperbolehkan cibiran kepada orang yang zalim.Jadi, bila diizinkan untuk mencela kezaliman orang yang zalim maka tentu saja menjelaskan dan menyebarkan kelaliman orang yang lalim bukan hanya dibolehkan namun justru diwajibkan. Mengapa? karena Allah tidak akan pernah membiarkan kezaliman dan menganggapnya sebagai dosa besar, Oleh karena itu, menyebarkan dan mengekspos kejahatan orang zalim diperbolehkan bahkan diharuskan.

Allah Swt dalam beberapa ayat, di antaranya surat an-Nisa’ ayat 75 memprotes orang-orang mukmin dan mempertanyakan mengapa mereka tidak memerangi orang-orang zalim dan para tiran supaya mustadhafin (orang-orang lemah) terbebaskan dari cengkraman kejahatan dan kebiadaban mereka. dan pada hakikatnya, Allah menghendaki jihad dan perang dilakukan dalam rangka membebaskan orang yang teraniaya dan orang yang lemah, dan Dia ingin supaya masyarakat mengorbankan jiwanya sekalipun dijalan kemuliaan ini.Oleh karena itu, bi thariqin aula (secara lebih utama dan lebih prioritas serta lebih diizinkan) dapat dikatakan bahwa berteriak dan menentang orang orang yang zalim untuk membela orang yang terzalimi adalah hal yang wajib.

Jadi, memerangi kezaliman adalah jalan para nabi. Oleh karena itu, Nabi Musa saat menjelaskan syukur nikmat yang diperolehnya, beliau berbicara tentang pembelaan terhadap orang yang teraniaya dan mengatakan:

Dia (Musa) berkata, “Ya Tuhanku, oleh karena nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, maka aku tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa –

(QS.al-Qashash, 17).

Maka, kecenderungan dan pemihakan serta penjilatan kepada orang yang zalim (baik penguasa maupun pengusaha atau pun tokoh yang buruk akhlak) di media sosial adalah hal yang tercela. Sebab, ketertarikan terhadap orang zalim termasuk dalam kategori perlindungan dan pembelaan kepada kezaliman yang Allah dalam surat Hud ayat 13 mengancamnya dengan siksaan neraka. Ancaman ini menunjukkan bahwa ketertarikan seperti ini dianggap sebagai dosa besar.

AyatullahSayed Ali Khamene’i mengemukakan masalah ghibah (menggunjing) saat membahas buktieksternalfikih media sosial. Dan beliau menyampaikan (berfatwa):

“Salah satu masalah yang harus kita perhatikan dan kita harus menyampaikan halini dan mereka harus kita ajarkan halini adalah hendaklah mereka memperhatikan bahwa hanya dengan asumsi bahwa kemaslahatan menuntut hal ini, yaitu mereka seenaknya dan sebebasnya menyampaikan berita dengan tangan mereka,pena mereka atau bloq/situs mereka.Tentu tidak demikian. Sebab,seluruh sarana modern sekarang terkena hukum ini. Yaitu membaca (tulisan)di blog/situs seperti membaca  kertas, kitab dan surat dan seperti mendengarkan suatu kata. Praktik mendengarkan ghibah juga mencakup semua masalahini. Dengan kata lain,parameter ghibah juga bisa diterapkan di sini. Sebab, ghibah tidak mesti harus menggunakan telinga/pendengaran. Bisa saja ghibah terjadi dengan membaca suatu surat. Kami telah tegaskan masalah ini dalam pembahasan masalah istima’ (proses mendengarkan).

Penggunaan kamera juga demikian. Misalnya, andaikan ada seseorang melakukan suatu kesalahan lalu ada orang lain yang melihatnya dan kemudian ia merekamnya dan kemudian menyebarkannya di tempat lain maka ini tidak ada bedanya (sama dengan ghibah).” (Disampaikan pada Jalsah Dars Kharij Fikih, 7/10/89)

Abu Qadiran